Minggu, 27 Desember 2009

"life's rule"

ini 10 pelajaran pertama yang saya peroleh selama hampir 3 tahun hidup jauh dari orang tua.. sebagian kecilnya (no 1 dan 2 ) sudah saya terapkan semasa SMA. Dan mungkin ini akan berlanjut ke nomor-nomor berikutnya, karna perjalanan saya menggelandang indonesia masih panjang... (berharap menggelandang dunia juga :'( *hope)

1. Berjalanlah seorang diri, lakukan semua yang ingin dilakukan tanpa harus meperdulikan kata mereka, selama tidak mengganggu seorangpun penghuni bumi
2. Berteman dengan siapa saja... tapi tidak untuk bersahabat !
3. Jika sakit, bertahanlah sebentar. Namun jika terlalu mengganggu kabarkan itu pada orang rumah karna suara mereka 49% menyembuhkan.
4. Persetan dengan semua yang menjelma seolah teman, sesungguhnya mereka (sebagian banyak) gak lebih dari sekumpulan bedebah.
5. Jangan terlalu banyak bicara, karna semakin banyak bercerita, maka mereka semakin mudah menjengkali seberapa dalam yang kau punya.
6. Jika tidak nyaman akan satu personal maka mundurlah dengan perlahan, jangan perdulikan jutaan persepsi yang lahir di kepalanya, kecuali jika dia bertanya maka jawab apa adanya.
7. Pelajari perlahan hal-hal tidak menyenangkan yang keluar dari mulut mereka, karna emosi meluap-luap sudah sangat out of date!
8. Hitung seberapa banyak mereka menyakitimu dengan kata/perbuatan, jika terasa sudah cukup, ledakkan dengan santai, tapi pastikan mereka tertampar dengan terdiam.
9. Boleh bermalas-malasan, tapi jangan kelewatan.
10. Berdoa, itu yang terpenting untuk menjaga diri dari semua orang/pengaruh jahat di sekitar.

" wanita favoritku ♥ "




Berjam-jam hari ini aku menikmati malam..
Dingin.. berangin .. tapi tidak begitu dengan langit yang tampak hangat dengan ribuan sinar bintang..
Bintang terbanyak yang jarang sekali ku temui..
Ketika menengadah ke langit.. seolah aku ingin terbang membawa jiwa, raga, dan pikiran ini jauh ke atas sana...
Tapi tidak selintaspun terbesit di benakku bahwa bintang-bintang malam ini adalah ribuan bintang penyambut jiwanya...
Penyambut jiwa dari seorang wanita yang sangat aku sayangi..
Wanita yang memiliki peran tersendiri untukku..
Wanita favoritku.. wanita penceritaku..
Aku atau siapapun itu memang tidak akan pernah tau tentang kematian..
Aku tahu dan sangat paham bahwa semuanya pasti akan mengalami hal itu..
Tapi air mata akan selalu menjadi simbol atas kematian.. akan selalu meninggalkan air mata kasih sayang...
Jika sakit itu teramat melelahkan untuk mu wahai wanita favoritku.. maka aku harap hal ini adalah yang terbaik bagi mu..
Jika luka itu teramat sangat berat untuk kau pikul sendiri.. maka aku harap ini adalah yang teringan untuk dilewati..
Kembalilah dengan ketenangan wahai wanita favoritku... tertidur di pangkuan-Nya dengan bahagia..
Lepaskan semua rasa sakit dan luka itu... buang jauh dan tinggalkan beban yang selama ini kau peluk seorang diri..
Maaf jika aku tidak banyak membantu..
Tapi aku harap kau tahu.. bahwa aku masih punya sejuta cita-cita untuk mu dan mereka..
Jika menginginkan sebuah kesempatan..
Ingin rasanya menahanmu sedikit lebih lama di sini hingga kau bisa menikmati cita-citaku..
Menahanmu sedikit lebih lama untuk menikmati kebahagian yang lebih bersama aku dan mereka..
Menahanmu sedikit lebih lama untuk bersama-sama pergi mengunjungi mekah.. aku yakin kau tidak ingin melewatkan itu..
Tapi.. aku rasa Allah sangat sayang padamu.. Dia tidak ingin kau terlalu lama merasakan sakit itu.. dia tidak ingin kau berlama-lama menderita sembari menungguku mencapai cita-cita yang masih harus ku perjuangkan...
Dan semua keinginan menahanmu ku lepas.. ikhlas..
Teruslah tersenyum untuk anakmu yang akan selalu merindukanmu dan untukku yang selalu menyayangimu..
Terus dengarkan aku dari kejauhan atas keluh kesah yang selalu ku bagi bersamamu seperti dulu..
Terus dukung aku untuk tidak bersedih dan merasa sendiri, seperti waktu itu..
Terus lah di sana.. bahagia.. sampai suatu saat nanti aku menyusul dan kembali berkumpul bersamamu... (amien)
Ingatkan aku jika lalai mendoakanmu suatu saat nanti..
Aku harap doaku bisa menjadi setitik penyegar untukmu di sana..
Aku harap doaku bisa menjadi sebuah kalimat indah untuk memberitahukanmu bahwa aku sangat menyayangimu...
Istirahatlah di sana dengan tenang wahai wanita favoritku.. kau terlalu lelah ku rasa..


“nenek... colay sayang nenek.. maafin colay ya nek.. tidak bisa menyentuhmu meski untuk terakhir kali.. tidak bisa tidur di dekatmu ketika kau kesepian.. tidak terbayang jika nanti colay pulang.. colay tidak menemui nenek seperti biasa... tidak lagi bisa mencium pipimu yang hangat ketika berpamitan.. tidak lagi bisa melihat tawamu yang sederhana tapi menyejukkan..tidak lagi bisa mendengar ceritamu yang mengagumkan... semuanya pasti menjadi kenangan yang indah untuk kita.. senang rasanya mengenalmu sedekat ini.. senang rasanya menjadi salah satu pusat perhatianmu.. senang rasanya mempunyai nenek seperti dirimu.. bahagia di sana ya nek.. colay doakan nenek bertemu kakek di sana... Ya Allah.. sayangi nenek.. bahagiakan dia untuk bertemu belahan jiwanya di dalam surgamu... ingatkan colay untuk memberi tetesan doa setiap waktu.. lindungi mereka ya Allah.. maafkan mereka.. aaaaammmmmiiiiinnnnn”

"rasa mereka"

Dapat merasakan apa yang mereka rasa
Tapi tidak dapat merasakan apa yang dia rasa
Dapat membayangkan apa mimpi mereka
Tapi tidak memiliki bayangan atas mimpinya sendiri
Seolah merasa hidup di dalam dunia mereka
Tapi dia tidak pernah merasa hidup untuk dunianya
Merasa sanggup seperti menyentuh
Sakan memiliki dan terhubung
Sangat dekat.. sangat peka.. sangat terasa
Menangisi kesedihan
Berbahagia atas suka cita
Dan terasa seakan luka..
Tapi semua milik mereka.. rasa mereka..
Satupun .. sedikitpun.. setetespun.. bukan miliknya..
Sedih merasa iri..
Bingung kenapa seperti ini..
Harus bagaimana dan seperti apa?
Ntahlah...
Itu urusan dia..
Dan aku di sini.. hanya berharap dia sempat mersakan dunia seperti mereka...

Senin, 14 Desember 2009

whats up?




Bosan..
Bermain dengan hayalan membuatku jenuh
Memutuskan berhenti untuk bercanda dengan kesepian
Mengusir semua kunang-kunang yang semakin lama semakin memenuhi ruang kesendirianku
Membersihkan semuanya
Tapi ketika aku keluar
Dunia terdengar begitu ramai
Tapi kenapa aku tidak bisa melihat satu orang pun yang berbicara?
Untuk beberapa waktu aku terdiam dan berfikir kemana perginya manusia?
Dan kenapa hanya suara?
Setelah aku meninggalkan berjuta kesenanganku dengan hayalan
Hanya ini kah yang tersisa untukku?
Begitu ramai suara-suara itu seolah ada pesta besar di sana
Beberapa kali suara itu memanggil namaku
Tapi kepada siapa aku harus menoleh?
Ingin kembali rasanya, tapi bosan mengusirku untuk terbangun
Haruskah aku kembali tertidur?
Atau tetap terbangun dan terus terdiam di dunia yang tak berpenghuni?

Selasa, 24 November 2009

Sang Pemberi Permen


Semuanya berawal dari sore yang membingungkan itu. Sepele sebenarnya, tapi ntah lah.. hanya saja satu hal itu seolah memberi tetesan warna tersendiri untuk soreku yang abu-abu..
Hari itu, ketika bingung dengan jadwal janji bareng nyokap yang minta ditemenin belanja, dan harus merelakan waktu bersenang-senang bareng temen, akhirnya jatuh pada keputusan ‘menunggu’, selalu begitu. Bingung, karna nyokap gak jelas mau janjian di mana, sedangkan temen terus maksain buat bareng. Dengan yakin dan sedikit malas aku menolak halus ajakan mereka. Dan Bogor sore itupun tidak ingin melewatkan cuaca gelapnya yang segera akan disusul hujan.
Mulai berfikir, bahwa menunggu di halaman kampus yang penuh dengan pohon-pohon besar bukanlah tempat yang tepat untuk menunggu dengan kostum kemeja putih dan rok pendek menyebalkan ini. Mm.. menunggu di tempat tujuan sepertinya lebih baik, pikirku. Teman-teman pun mulai sibuk berpamitan satu sama lain (khas sekali pertemananku ala bogor), cipika cipiki, say bye, dan kata penutup lainnya. Begitu juga aku, karna kebetulan di sore yang beranjak malam itu kelasku adalah kelas terakhir pengguna kampus maka orang di sekitar yang berkeliaran tentunya kebanyakan teman sekelas. Mulai beranjak berdiri dan berpamitan pada 2 orang teman wanita dengan sedikit basa-basi, dan 4 orang pria dengan sedikit bercanda. Seperti biasa, ramai seketika dan mulai sepi ketika aku beranjak meninggalkan kerumunan mereka, resesi say bye itu tidak akan lebih dari 1 menit, dan pada umumnya semua berhenti bersamaan
Tapi kali ini beda, ntahlah mungkin ini hanya pikiranku saja, tapi siapa perduli dengan pikiranku. Aku yang menikmatinya jadi aku berhak merasakan apapun atas semua ketidak pentingan hal yang terjadi, meskipun itu sepele sekalipun. Say bye itu mulai terdengar redam ketika aku sudah mengambil 3 langkah meninggalkan kerumunan, namun tiba-tiba salah satu dari 4 pria itu memanggilku. “aya!” . “Ya?” aku berbalik pada sumber suara.” hati-hati ya” sambungnya dengan wajah meyakinkan dan sedikit menganggukkan kepala dengan tersenyum . Nyesss.... sore abu-abuku kini sedikit merona. Aku tersenyum. Seperti senyum seorang bocah yang menerima setumpuk pemberian permen di tangannya. Aku membalikkan badan, lalu melanjutkan langkah lebih lebar.
Ingin sekali tertawa geli melihat respon pemikiranku atas tindakannya itu. Jika otak warasku bekerja maka aku akan menggap hal itu biasa saja. Tapi.. ntahlah, aku tidak tau... aku tidak tau... aku tidak tau, tapi aku tau aku tersenyum dan sesekali masih memikirkan itu untuk 2 hari kedepan setelah kejadian.
Hari berikutnya aku lebih suka untuk mengamati dia lebih detail lagi. Aku jarang mengobrol dengannya di kampus, tapi terkadang kami sering terlibat basa-basi. Kemarin ku lihat dia tersenyum padaku, ku harap ini hanya praduga ku saja. Dia tersenyum tanpa memamerkan deretan giginya tapi itu senyum terlembut dari seorang teman pria yang pernah ku terima. Senyum dan cara dia memandang ke arahku. GOD. Sekali lagi aku harap ini hanya kebodohan.
Tidak langsung berfikiran bahwa aku ‘suka’ pada si pelaku, terlebih jatuh cinta. Tidak semudah itu. Hanya saja itu semua berbeda. Seolah-olah ada seseorang yang memberikan setumpuk permen di tanganku ketika aku lelah sesenggukan menangis dan merajuk. Baiknya...
Yah, cerita konyolku yang singkat, dan sangat tidak penting ini mungkin akan menjadi bagian yang paling akan ku ingat di akhir musim perkuliahan. Setelah sekian rasa hambar, dan warna abu-abu yang tak kunjung pudar, akhirnya ada seseorang yang berbaik hati memercikkan warnanya walau sesaat untuk menghiburku. Meskipun warna abu-abu itu tetap berkelanjutan setelahnya dan rasa hambar itu masih betah menetap. Tapi bagaimanapun juga, Sang pemberi permen. Terima kasih.

Minggu, 15 November 2009

satu langkah pertama..


Ya.. satu hari baru... satu hal seru.. dan satu pengalaman baru..


Semuanya terpacu dan terlatarbelakangi atas hal-hal yang selama ini aku jalani terlalu monoton, menjenuhkan, dan beranjak memuakkan. Lingkungan kampus yang semakin tidak kondusif untukku pribadi, lingkungan pertemanan yang masih saja betah jalan di tempat, terlebih masalah emosional percintaanku (oo.. please.. sedang tidak ingin membahas cinta di sini). Semuanya berputar dan terus terulang seperti itu, tidak ada perubahan menuju suatu titik positif yang menjanjikan, malah jika dirasakan dengan seksama, keseluruhannya berjalan menuju arah sebaliknya meski terlihat lambat.

Di satu titik jenuh yang ku rasakan sampai membuat ku hampir mati rasa karna terus digelayuti rasa bosan, ntah apa yang tiba-tiba menggelitik pikiranku untuk mendobrak benteng kebosanan itu, ya mungkin bentengnya tidak akan hancur seketika, setidaknya aku mencoba menghancurkannya perlahan dengan cara ku sendiri. Hingga seorang teman menolongku dengan menunjukkan satu arah yang tepat untukku melarikan diri. Dan aku bersiap mengepak barang seperlunya lalu dengan bermodal setengah kepercayaan diri aku berusaha berlari ke arah itu.

Betapa satu hal yang tidak pernah berani (mungkin malas) untuk ku coba, bersaing pada satu ajang resmi yang ku pikir ya... ntah lah, hanya saja aku rasa ini tidak akan pernah berhasil meski aku melakukannya dari dulu juga. Ketika kebanyakan temanku melampirkan berbagai prestasi nonformal yang mereka cantumkan pada CV, namun aku tidak bisa mencantumkannya sebanyak itu. Oooh.. kebodohan apa ini yang baru ku sadari sekarang? Apakah aku yang terlalu (me) malu (kan) untuk tampil di depan umum ketika aku seusia mereka sedangkan saat itu adalah puncak yang sangat menyenangkan untuk menjadi tontonan? Atau aku yang memang tidak bisa melakukan apa-apa ketika mereka sedang sibuk menunjukkan kemampuan di depan banyak orang? Dan cukuplah semua rasa pengecut itu menakutiku, sekarang saatnya aku memulai hal yang seharusnya sudah kulakukan sedari kecil dulu, ooo.. tapi sudahlah.. lebih baik terlambat dari pada aku tidak pernah mencoba mengambil satu langkahpun.

Membuka mata dan melihat sekeliling, satu ajang perlombaan tersedia di sana dan aku mencobanya. Mungkin kategori ajang perlombaan ini cukup menengah sulit ku rasa. Hanya bermodal setengah nekat aku memberanikan diri terlibat dalam ajang tersebut. Efeknya lumayan, ntah kenapa dalam proses menjalaninya ada banyak pikiran positif yang melintas di kepalaku, pikiran-pikiran yang tadinya hanya berupa ulasan singkat, kini berkembang perlahan menunjukkan gambar-gambar yang berbeda dan memamerkan sesuatu yang luas di dalamnya. Pikiran-pikiran tentang masa depan, pikiran-pikiran tentang hal yang lebih banyak di luar sana, tapi ini bukan pikiran-pikiran hayalan, ini pikiran tentang aku dan dunia. Terlebih lagi efek positif itu adalah aku bisa melarikan diri dan pemikiranku meski sebentar dari keadaan dan mereka.

Langkah awal tidak terlalu sulit, cenderung meningkatkan percaya diri yang tadinya tidak utuh. Namun semuanya berbeda ketika di babak ke 2 ajang tersebut. Ya... kemenangan mungkin memang bukan motivasi utamaku, tapi semua orang yang berkumpul di ajang itu pastilah bertujuan untuk sebuah kemenangan, meskipun aku menjawab tidak untuk diriku sendiri, tapi siapa yang bodoh dalam hati?

Berusaha meyakinkan dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik untuk babak ke dua namun tidak cukup maksimal. Hanya menjanjikan sebuah optimalisasi untuk kemampuan diri sendiri, tapi tidak membayangkan sesuatu hal kecil namun berdampak besar dapat menjegalku dalam ajang ini. Suatu kecerobohan yang memang ku sadari dan yaaah... mungkin sifat cuek itu masih mendominasi.

Babak ke 2 di mulai. Bersiap untuk menunjukkan apa yang kupunya di depan puluhan orang, bersiap untuk dipermalukan ataupun sebaliknya, bersiap menghadapi penonton yang tidak pernah menjadi hal menyenangkan dalam hidupku, bersiap bersaing. Aku menyiapkan diri dan senjata yang kupunya dengan cukup mematikan (pikirku), cukup mematikan jika hanya aku yang berperang pada benda mati, tapi ntah apakah senjata ini cukup mematikan untuk mereka yang di sebut para juri. Di sela-sela peperangan akan di mulai, nyaliku sempat naik turun, cukup mengganggu pemikiran optimisme positif yang sudah sangat sulit ku bangun, sial.. tapi aku berusaha menggertaknya dan membuatnya stabil untuk tidak menakutiku. Ntah aku harus bersyukur atau merasa sial dengan urutan pesertaku yang merupakan penampilan pertama. Deg-degan? Aku tidak tahu. Yang jelas ketika memulai penampilan dan dalam prosesnya, ada yang tidak beres dengan performaku, mengecewai diri sendiri, tapi untuk apa lagi? Ini pertunjukkan untuk diperlombakan dan tidak dapat diulang, hanya satu kali dan terima nasib itu. Tapi kupikir kecewa itu hanya terasa sedikit kebas, karena sebagian besar aku merasa masalah ada pada tekhnis eksternal, meskipun tekhnis internal tidak sesempurna awalnya, namun tidak begitu mengacaukan.

Sepanjang hari yang melelahkan itu, terjadi konfrontasi cukup mengganggu di kepalaku, satu sisi terus bersikap menyebalkan akan hal kemenangan, satu sisi berusaha menenangkan diri untuk menghadapi kelelahan. Ooo.. ayolah dari awal aku tidak tertuju pada kemenangan itu, pengalaman.. pengalaman.. dan pengalaman yang menjadi tujuan utama di sini, kemenangan dan kekalahan hanya efek dari usaha yang ku lakukan, selebihnya yang pasti dan jelas ku miliki adalah pengalaman atas apa yang kurasa telah ku jalani dengan (mungkin) seluruh usaha terbaik.

Tiba pada akhir hari peperangan, pengumuman atas siapa mereka yang terpilih. Dan konfrontasi itu semakin memanas. Di tengah-tengah musuh yang tidak gampang ditaklukkan, semuanya nyaris berpengaruh untuk sebuah kemenangan. Dan di kepalaku masih sibuk meributkan tentang apa yang harus mendominasi pikiran yang nantinya berefek pada mood dan kejiwaan. Pemikiran kalah dan berusaha untuk santai memenangkan konfrontasi meski sesekali pemikiran akan kemenangan meneriaki dengan samar. Aku tidak tahu apakah hal ini baik untuk ku terapkan pada setiap ajang yang (mungkin) nanti akan ku hadapi. Dan apapun yang kupikirkan, ternyata hasil dari langkah awalku ini adalah benar seperti apa yang mendominasi kepalaku. Kalah. Ada bagian lain yang menolak akan hal itu. Tapi itu hasil usahaku, dan aku harus menerimanya dengan santai. Bukankah kemenangan tidak menjadi tujuan utama untuk sebuah langkah awal? Bukankah pengalaman yang lebih di junjung tinggi di sini? Ya aku mencoba menghibur diri, tapi tetap saja ada nyeri tersendiri di dalam sini.

Ketika akhir dari acara pelantikan para juara, dan aku masih terduduk manis serta berusaha tersenyum pada teman-teman baruku yang menjadi salah satu pemenang, tiba-tiba seseorang berkata pelan sambil menundukkan sedikit tubuhnya ke arah ku. Sedikit kaget karena orang tersebut merupakan sekutu dari pihak yang menyelenggarakan ajang perlombaan.

“Ya.. coba lu liat nilai lu” suara bas nya yang khas cukup menganggetkanku.

“Nilai?” cuek, masih berusaha bersikap tidak perduli dan sok santai.

“Iya.. nilai lu, nilai penampilan lu di sana” dia menunjuk pada kerumunan orang yang berbaur dengan juri.

“Untuk apa?” terdengar bodoh ku rasa.

“Lu pringkat 11, beda tipis banget..” dengan berbisik pelan sambil berusaha mensejajarkan tubuh , dia berusaha meyakinkan dengan menatap serius ke arahku.

“Oohh..” berusaha menunjukkan padanya bahwa info yang diberinya tidak lebih dari sebuah omong kosong yang tidak berguna.

Namun seketika itu juga, jika boleh sangat jujur untuk mengutarakan apa yang sebenarnya ku rasakan atas dampak dari informasi yang dia berikan, ingin sekali aku menangis (bahagia) dan kalau boleh memeluknya penuh, untuk beberapa detik pelampiasan rasa terima kasih. Sungguh satu hal yang gak pernah ku duga bahwa info itu akan dibawakannya untukku. Sungguh suatu yang berharga (kurasa). Sungguh sesuatu yang tidak akan pernah ku ketahui jika dia tidak mengatakannya padaku. Ketidak perdulianku akan menutup semua hal tersebut dan akan membuatku tidak tahu akan hal itu untuk selamanya. Hal yang kurasa seperti percikan hujan di tengah lahan kering yang tengah ku garap.

Hari itu hujan dan ketika semua orang belum bubar, aku sudah membuka payungku dan beranjak pergi meninggalkan tempat gerah itu. Aku berjalan sembil terus berfikir. Berfikir betapa baiknya dia, berfikir betapa hal yang di sampaikannya sangat berpengaruh untuk daya pikir dan kejiwaanku. Berfikir bahwa kekalahan hari itu tidak begitu menyedihkan. Berfikir untuk tidak lupa bersyukur kepada-Nya. Berfikir bahwa sekarang mungkin belum saatnya, mungkin Tuhan lebih mengerti kenapa Dia menciptakan aku pada keadaan yang seperti ini, mungkin Tuhan lebih mengerti bahwa betapa repotnya nanti jika aku masuk 10 besar dan harus melakukan rangkaian acara yang akan menyita waktu kuliahku yang tengah sibuk-sibuknya.

Dan pemikiran pendek akan ketidak mampuan diri untuk bersaing, toh telah terjawab... jadi bukan saat yang tepat untuk mengutuk diri atas segala hal kekurangan yang tak terselesaikan. Tapi sekarang saatnya berfikir, hal berbeda apa lagi yang berikutnya akan ku coba hadapi untuk menunjukkan apa yang ku punya, dan terus membuka pikiran dan pandangan bahwa duniaku luas. Banyak hal yang bisa ku lakukan tanpa harus terpatok pada satu rutinitas. Dan tidak ada salahnya untuk mencoba demi sebuah pengalaman yang akan menjadi koleksi berharga dalam hidup. Berusahalah pikirku.. terus simpan semangat dan kemampuan itu untuk sesuatu yang menegangkan besok. Dan ini semua notabene bukan sebagai rangkaian penghibur buat diri sendiri. Tapi ini semua merubakan buah dari hasil pemikiran positifku yang kini semakin berkembang.

Special thanks buat Riki. Kalo lu gak ngasi tau hal itu, selamanya gw gak akan pernah tahu karna gw juga tidak akan pernah mencari tahu. Dan hal kecil yang mungkin lu pikir sekedar intermezo itu nyatanya berdampak besar untuk daya pemikiran gw.. hahaha (*hugs u)