Senin, 31 Januari 2011

The power of book


"Ini tentang teman-teman baru saya"

Ya, semenjak kembali ke kota kelahiran ini dan kembali menjadi ‘anak rumah’, semenjak saya harus memaksa diri beradaptasi memulai hal baru di tempat yang lama, semenjak semua teman-teman yang saya pikir merindukan saya dan kini menjauh. Semenjak akhirnya untuk kesekian-puluh-kalinya saya merestart ulang daya, imaji, rasio, asa, dan pola, menjadikan elemen-elemen itu kembali segar seolah baru, memberikannya imun sedikit lebih, dan memaksanya untuk terbiasa.

Saya harus merelakan 7kg bobot tercinta yang sempat saya miliki, terampas dengan paksa dalam waktu 3 bulan pertarungan adaptasi menegangkan ini. Ternyata, 7kg dan waktu 3 bulan bukan kalkulasi menjanjikan untuk meyakinkan diri bahwa semua getir adaptasi ini berakhir. belum. Getir adaptasi masih berlangsung hingga pada saat barisan ini saya susun.

Siapa yang mengira bahwa getir itu tidak semata-mata merebut bobot badan saya, tidak hanya memberi berbagai kejut kesal dan emosi tak tertahankan, tidak hanya menyapu nyaris bersih nafsu makan saya, tidak hanya menaburkan bumbu lada dalam pertemanan, tapi getir itu juga menghembuskan aroma. Aroma varian baru, begitu saya menyebutnya. Aroma halus namun pekat. Terhembus begitu tipis tapi dengan kontinuitas yang berkesinambungan. Getir menuntun saya pada aroma itu. Getir hanya menuntun dan saya yang menjemputnya. Menjemput aroma dari teman-teman kecil saya yang baru.

Maaf jika saya berlebihan. Tapi teman-teman kecil itu hanya sekumpulan buku. Ya, dan buku tidak terlihat ‘hanya’ untuk saya. Saya mengangkat drajatnya sebagai teman belakangan ini.

Begitu sederhana dan tersentuh sudah sejak lama. Tapi saya baru benar-benar memahaminya sekarang, ternyata buku bisa menjadi tempat tukar pikiran, penenang kegalauan, dan penyemarak kesunyian. Jika komik serial cantik dengan berbagai tokoh yang rupawan dan cerita-cerita dongeng adalah menjadi favorit saya dari SMP hingga akhir SMA, lalu beranjak ke novel-novel picisan pada awal perkuliahan, tapi tidak untuk sekarang, saya lebih suka menyebutnya harta. Harta yang murah. Tapi akan menjadi sangat mahal ketika harta itu benar-benar bisa tergenggam.

Ada beberapa momen dimana keakraban antara saya dan buku terjalin sangat intim. Butuh waktu ± 2 jam dari rumah menuju kampus saya yang baru sekarang. Menggunakan angkutan umum yang tidak nyaman, kondisi jalan yang sulit ditebak, cuaca yang menyebalkan, dan harus berjejalan dengan orang-orang dengan berbagai bau. Tidak satu haripun saya lewatkan tanpa mengumpati itu semua. Sangat menyebalkan. Itu salah satu faktor kenapa saya kehilangan 7kg tercinta, dari berbagai faktor yang ada.

Di dalam jeda 2 jam itulah saya melahap beberapa lembar halaman dari hari ke hari. Saya menyelesaikan 2 buku untuk setiap bulannya. Itu sebuah kontinuitas baru dalam hidup saya, kontinuitas paling berkualitas yang pernah saya miliki.

Pada jeda 2 jam itu saya mempelajari banyak hal baru. Buku-buku itu menceritakan bermacam kisah, dan memeparkan beberapa perpektif sederhana yang luar biasa. Dua jam jeda bersama buku-buku itu membuat saya melupakan berbagai hal. Melupakan kekesalan yang saya bawa dari rumah, melupakan betapa sulitnya yang saya jalani sekarang, melupakan bahwa sekarang saya kehilangan teman, melupakan tentang emosi, penyesalan, kesepian dan segala sudut pandang menyedihkan yang tertuju pada diri saya. Semuanya terlupakan.

Benar saja. Keintiman pada jeda2 jam itu sangat berpengaruh pada kehidupan saya sekarang. Beberapa hal mulai terasa nyaman. Meski kenyamanan itu memang harus tergantikan dengan hal-hal berharga lainnya. Sekarang, tidak ada lagi jeda 2 jam. Tidak dengan mengisinya dengan lembaran halaman buku. Sudah tidak bisa. Saya sering merindukannya sesekali. Tapi kehilangan jeda 2 jam bukan berarti saya juga harus kehilangan teman baru saya. Saya menciptakan jeda yang lain, yang lebih lama.

Saya bersyukur. Untuk semua yang saya alami. Yang saya pelajari. Yang saya lewati. Perspektif-perspektif itu luar biasa. Saya berusaha untuk mempelajarinya dan menjadikannya harta abadi di benak saya. Sungguh teman baru yang mengagumkan. Dan saya rasa ini masih awal dari sebuah perkenalan. Hey teman-teman kecil, Salam kenal :)

Dan saya akan berbagi. Berikut adalah beberapa teman yang akan saya perkenalkan:





ini adalah buku yang lumayan susah untuk saya cerna. Tipis tapi sangat berat. Butuh waktu cukup lama untuk menyelesaikannya. Seperti kebanyakan orang bilang, ya, buku ini memang luar biasa. saya juga mengalami dampaknya :D






Ini dia! kumpulan kisah inspiratif. Beberapa kisah di dalamnya juga terputar dalam kehidupan saya. Untuk sebuah introspeksi.






Dan ini yang sedang saya baca. Meskipun baru menyelesaikan separuhnya, tapi ini yang paling bagus (dari dua di atas, versi saya). sederhana, mudah dicerna. Dan coba tebak, hal-hal bagus apa yang bisa kau curi di dalamnya?






sesekali saya juga menyelipkan buku fiksi. ini wajib dibaca untuk penggemar fiksi detektif.

Rabu, 12 Januari 2011

MIMPI-sueño-droom-꿈-traum-dream



Mimpi. Ya, seperti kebanyakan orang mengatakan. Mimpi adalah bunga tidur. Tapi bagi saya mimpi tidak hanya sebuah bunga tidur.*saya jadi ingin senyum-senyum sendiri untuk menguraikannya, karna ketika saya menyusun kata-kata ini , 10 menit yang lalu saya baru saja bermimpi indah*. Oke, jadi mimpi bagi saya adalah kehidupan sesaat. Kehidupan setengah bias. Cerita-cerita pendek yang cenderung tidak pernah selesai , selalu terpotong. Mungkin beberapa merupakan cerita-cerita bersambung tapi dengan arus yang kacau balau bersimpangan. Ada jiwa-jiwa yang hidup tapi terasa begitu.. begitu renta untuk disentuh secara nyata. Setelah keluar dari dunia itu lalu kembali ke dunia nyata, maka baru bisa diklasifikasikan apakah sebuah mimpi itu buruk, atau indah.
Mimpi tidak selamanya hanya indah atau buruk. Terkadang mimpi justru kosong, atau memberikan cerita-cerita dengan emosi datar.
Selalu ada senyum untuk sebuah mimpi indah. seperti mendapat sebuket bunga ketika saya sadar dengan mimpi yang masih terasa segar. *seperti pagi ini, saya seperti mendapat sebuket bunga anggrek*.
Tidak hanya mimpi indah. saya juga pernah sangat akrab dengan mimpi buruk, untuk berbulan-bulan lamanya. Dengan kontiniu yang cenderung tak berjeda. Seolah tidak memberi celah sedikitpun untuk menyusupkan mimpi indah. ingat sekali, hampir setahun yang lalu, sebuah kontinuitas yang mengerikan. Mimpi buruk yang tidak berkesudahan. Saat itu saya masih kuliah di bogor, saat menjalani hidup mandiri, saat segala sesuatunya terlihat sangat biru-hijau-abu dengan konsentrat yang sangat pekat. Syukurnya sekarang sudah berakhir. Bukan berarti saya absen selamanya dari mimpi buruk, tapi paling tidak kontinuitas itu berakhir. keadaanya berbalik sekarang. Justru mimpi buruk yang mencoba mencuri-curi celah untuk menyusup. Memang, kontinuitas menyebalkan itu tidak berakhir bergitu saja. Ada kunci, ada rahasia, ada sebuah mantra.
Mimpi itu cerita-cerita pendek yang menarik bagi saya. Dimana saya terkadang memaksakan diri untuk menjadi saya yang lain. Saya yang pasif dalam dunia nyata, menjadi begitu agresif dalam dunia mimpi. Saya yang begitu teratur di dunia nyata, bisa menjadi begitu brutal dan terlalu sangat berani dalam dunia mimpi. Saya pada dunia nyata dan saya di dalam mimpi, cenderung sangat berbeda. Dan terkadang saya justru menstelnya sendiri, mau seperti apa saya bersikap dalam dunia mimpi. Dan saya menikmati hampir setiap detik mimpi itu.
Dan saya masih terkagum, betapa elemen mimpi yang begitu sederhana untuk kebanyakan manusia yang tidak menyesapinya, terasa sangat menakjubkan bagi saya. Elemen keajaiban dari jutaan keajaiban lainnya yang Tuhan selipkan dalam kehidupan. Ya, Elemen keajaiban.
Jadi, ketika banyak orang meneriakkan
“jangan banyak bermimpi!!!” “dasar, tukang mimpi!!”
atau teriakaan lainnya dengan tema pemojokan bahwa mimpi itu menyesatkan, sungguh sangat disayangkan. *Sedikit rasa iba untuk mereka yang tidak dapat menikmatinya*. Image yang terbentuk justru dengan contoh perwakilan teriakan-teriakan itu, menciptakan sebuah pencitraan bahwa mimpi itu sungguh sangat tidak bermanfaat. Si pemimpi yang mengagumi mimpi-mimpinya cenderung dikategorikan sampah masyarakat. Oke, itu berlebihan.
Tidak ada salahnya menikmati mimpi. Adalah hak setiap manusia untuk menyesapi atas mimpinya masing-masing. Bagaimana memposisikan mimpi itu, dan bagaimana cara mengaguminya. Predikat ‘si pemimpi’ tidak akan terasa buruk, ketika si pemimpi itu secara profesional dapat membedakan kehidupannya di dalam mimpi dan di dalam kehidupan nyata. Yang mana elemen ajaib dan yang mana realita sentuhan oksigen. Bersikaplah berbeda untuk keduanya jika masih ingin dianggap waras untuk orang-orang di sekitar kehidupan nyata. Maka Saya menjadikan mimpi sebagai motifasi. Bisikan positif. Rancangan masa depan. Toh sudah banyak orang menyadari “hidup berawal dari mimpi”
. Saya setuju. Dan mimpi pun berakhir menjadi sebuket bunga ketika saya terbangun lalu kembali ke dunia nyata. Sebuket bunga varian. Jadi, buket bunga apa yang kamu terima pagi ini?