Selasa, 24 November 2009

Sang Pemberi Permen


Semuanya berawal dari sore yang membingungkan itu. Sepele sebenarnya, tapi ntah lah.. hanya saja satu hal itu seolah memberi tetesan warna tersendiri untuk soreku yang abu-abu..
Hari itu, ketika bingung dengan jadwal janji bareng nyokap yang minta ditemenin belanja, dan harus merelakan waktu bersenang-senang bareng temen, akhirnya jatuh pada keputusan ‘menunggu’, selalu begitu. Bingung, karna nyokap gak jelas mau janjian di mana, sedangkan temen terus maksain buat bareng. Dengan yakin dan sedikit malas aku menolak halus ajakan mereka. Dan Bogor sore itupun tidak ingin melewatkan cuaca gelapnya yang segera akan disusul hujan.
Mulai berfikir, bahwa menunggu di halaman kampus yang penuh dengan pohon-pohon besar bukanlah tempat yang tepat untuk menunggu dengan kostum kemeja putih dan rok pendek menyebalkan ini. Mm.. menunggu di tempat tujuan sepertinya lebih baik, pikirku. Teman-teman pun mulai sibuk berpamitan satu sama lain (khas sekali pertemananku ala bogor), cipika cipiki, say bye, dan kata penutup lainnya. Begitu juga aku, karna kebetulan di sore yang beranjak malam itu kelasku adalah kelas terakhir pengguna kampus maka orang di sekitar yang berkeliaran tentunya kebanyakan teman sekelas. Mulai beranjak berdiri dan berpamitan pada 2 orang teman wanita dengan sedikit basa-basi, dan 4 orang pria dengan sedikit bercanda. Seperti biasa, ramai seketika dan mulai sepi ketika aku beranjak meninggalkan kerumunan mereka, resesi say bye itu tidak akan lebih dari 1 menit, dan pada umumnya semua berhenti bersamaan
Tapi kali ini beda, ntahlah mungkin ini hanya pikiranku saja, tapi siapa perduli dengan pikiranku. Aku yang menikmatinya jadi aku berhak merasakan apapun atas semua ketidak pentingan hal yang terjadi, meskipun itu sepele sekalipun. Say bye itu mulai terdengar redam ketika aku sudah mengambil 3 langkah meninggalkan kerumunan, namun tiba-tiba salah satu dari 4 pria itu memanggilku. “aya!” . “Ya?” aku berbalik pada sumber suara.” hati-hati ya” sambungnya dengan wajah meyakinkan dan sedikit menganggukkan kepala dengan tersenyum . Nyesss.... sore abu-abuku kini sedikit merona. Aku tersenyum. Seperti senyum seorang bocah yang menerima setumpuk pemberian permen di tangannya. Aku membalikkan badan, lalu melanjutkan langkah lebih lebar.
Ingin sekali tertawa geli melihat respon pemikiranku atas tindakannya itu. Jika otak warasku bekerja maka aku akan menggap hal itu biasa saja. Tapi.. ntahlah, aku tidak tau... aku tidak tau... aku tidak tau, tapi aku tau aku tersenyum dan sesekali masih memikirkan itu untuk 2 hari kedepan setelah kejadian.
Hari berikutnya aku lebih suka untuk mengamati dia lebih detail lagi. Aku jarang mengobrol dengannya di kampus, tapi terkadang kami sering terlibat basa-basi. Kemarin ku lihat dia tersenyum padaku, ku harap ini hanya praduga ku saja. Dia tersenyum tanpa memamerkan deretan giginya tapi itu senyum terlembut dari seorang teman pria yang pernah ku terima. Senyum dan cara dia memandang ke arahku. GOD. Sekali lagi aku harap ini hanya kebodohan.
Tidak langsung berfikiran bahwa aku ‘suka’ pada si pelaku, terlebih jatuh cinta. Tidak semudah itu. Hanya saja itu semua berbeda. Seolah-olah ada seseorang yang memberikan setumpuk permen di tanganku ketika aku lelah sesenggukan menangis dan merajuk. Baiknya...
Yah, cerita konyolku yang singkat, dan sangat tidak penting ini mungkin akan menjadi bagian yang paling akan ku ingat di akhir musim perkuliahan. Setelah sekian rasa hambar, dan warna abu-abu yang tak kunjung pudar, akhirnya ada seseorang yang berbaik hati memercikkan warnanya walau sesaat untuk menghiburku. Meskipun warna abu-abu itu tetap berkelanjutan setelahnya dan rasa hambar itu masih betah menetap. Tapi bagaimanapun juga, Sang pemberi permen. Terima kasih.

Tidak ada komentar: